28 Maret 2010

16 Mei 2009

makan apa

blog SMA q

Pengetahuan, Ilmu dan Berpikir

Pengetahuan, Ilmu dan Berpikir

2008 Juni 18


“Satu-satunya yang aku tahu–aku tak tahu apa-apa…” (Socrates)
Apa itu tahu & pengetahuan?
Aliran-aliran filsafat bermunculan diakibatkan oleh perbedaan pendapat dalam menjawab pertanyaan diatas. Pertanyaan sederhana mengenai “apa itu pengetahuan?” ternyata mengandung banyak implikasi permasalahan di dalamnya. Tidak hanya mengenai pengetahuan itu saja tapi juga mengenai pandangan tentang realitas, semesta, dunia, manusia, juga tentang nilai-nilai dan hal-hal yang sifatnya normatif.
Apakah artinya bila “saya mengetahui sesuatu”? apabila “a knowing subject” knows “a known object.” Salah satu masalah yang menumbuhkan perbedaan pendapat antar aliran filsafat adalah kesukaran-kesukaran untuk menjelaskan bagaimanakah proses pengetahuan sebagai persatuan antara subjek dan objek, terutama bagaimana proses tersebut terjadi dalam diri subjek. Dengan kata lain, bagaimana proses material-imaterial itu terjadi dalam diri subjek, dalam hal ini manusia dengan karakter rasional-inderawinya.
Yang kita bahas disini tentu saja adalah pengetahuan dalam pola dasarnya, pengetahuan yang sifatnya immediate dimana hubungan subjek-objeknya bersifat “one act of direct knowledge”. Ini perlu ditegaskan karena ada jenis pengetahuan yang lain dan pengetahuan pun sifatnya majemuk. Ada pengetahuan refleksif, a priori, a posteriori, inderawi, intuisi, abstraksi dsb. dan kita tidak akan membicarakan itu.
Pengetahuan, sebagaimana dikatakan A.M.W. Pranarka, melibatkan aktifitas dari pihak subjek maupun dari pihak objek. Proses pengetahuan terjadi karena subjek memiliki daya untuk mengetahui (daya inderawi / intelektual) sementara objek dalam dirinya juga memiliki daya untuk dirasa dan dimengerti (sensibilitas dan intelligibilitas). Pengetahuan adalah suatu kegiatan yang sifatnya mengembangkan, menambah kesempurnaan. Dengan pengetahuan, subjek yang tadinya tidak mengetahui menjadi mengetahui; objek yang tadinya tidak diketahui menjadi diketahui.
Manusia tidak mengetahui secara total segala sesuatu melainkan secara setapak, secara sepotong. Pengetahuan manusia bersifat diskursif, relasional, berjalan melalui pola analisa-sintesa, membedakan-menyatukan, baik dalam pengetahuan yang sifatnya sederhana maupun dalam pengetahuan yang sifatnya kompleks. Pengetahuan manusia itu sifatnya terbatas, tidak sempurna, dan karena itu tumbuh dan berkembang.
Kebenaran
Melalui pengetahuan manusia berusaha mendapatkan kebenaran. Soal ini pun sama rumit dan kompleksnya dengan pengetahuan. Dan aliran-aliran filsafat boleh berbeda-beda pendapat tentangnya.
Yang kita bicarakan disini adalah kebenaran epistemologikal, kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Ini perlu ditegaskan dan dibedakan dari kebenaran ontologikal (kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada segala sesuatu yang ada atau diadakan), dan kebenaran semantikal (kebenaran yang melekat dalam tutur kata dan bahasa).
Dalam arti apakah dan sejauh manakan pengetahuan itu dapat dikatakan benar?
Pengetahuan adalah kemanunggalan antara subjek dan objek. Maka pengetahuan itu dikatakan benar apabila di dalam kemanunggalan–yang sifatnya intrinsik, intensional, pasif-aktif–itu terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dan apa yang dalam kenyataannya ada terdapat dalam objek.
Karena puncak dari proses kognitif manusia itu adalah budi pikirannya (intelek) maka pengetahuan adalah benar apabila apa yang terdapat dalam budi pikiran itu sesuai dengan apa yang ada di dalam objek.
Yang dimaksud puncak proses kognitif intelektual manusia yang purna adalah sebuah pernyataan putusan (ada S, P dsb.), dan yang dimaksud apa yang ada di dalam objek adalah esensi, “the what” dari objek. Baik objek konkret (yang memang punya kenyataan ontologikal), maupun objek abstrak (kenyataan karena konstruksi mental manusia).
Karena itu kebenaran terjadi apabila terdapat kesesuaian yang serasi (conformity) antara “apa yang dinyatakan oleh subjek melalui proses kognitif intelektual” dan “keadaan yang senyatanya dari objek yang memiliki alteritas independen dari subjek.”
Kita sudah mendekati pada persoalan berpikir. Kita akan membahasnya nanti tapi sebelum itu kita mampir sebentar untuk membedakan pengetahuan dengan ilmu.
Ilmu & Metode Ilmiah
Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Sebaliknya Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Berpikir dan asas-asanya
Berpikir sebagaimana dikatakan Jujun Suriasumanti adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Setiap proses pemikiran atau penalaran niscaya mentaati hukum-hukum berfikir. Berfikir yang baik adalah berfikir logis dialektis, artinya bukan hanya mengindahkan kebenaran bentuk atau hukum-hukum dan prinsip pikiran, tetapi juga mengindahkan kebenaran materi/isi pemikiran beserta kriterianya. Penalaran yang baik mensyaratkan paling tidak beberapa kondisi berikut ini:
1. Titik pangkal penalaran/pemikiran harus benar/berpangkal dari kenyataan atau kepastian obyektif (fakta demikian)
2. Alasan-alasan harus tepat dan kuat (cukup alasan)
3. Jalan fikiran harus logis / lurus (sah)
Berfikir yang baik tidak hanya menyangkut kebenaran formal akan tetapi juga kebenaran material. Hukum-hukum berfikir dirumuskan dalam Logika (Mantiq). Jadi logika berkaitan dengan validitas penalaran (kebenaran formal/sesuai dengan persyaratan formal proposisi). Sementara masalah kebenaran materi/isi pikiran dan kriterianya atau yang berkaitan dengan kebenaran dan ketidakbenaran faktual dari suatu proposisi/suatu ungkapan atau kesimpulan dicari pada masing-masing bidang serta epistemologinya atau bahkan aspek metafisik moralnya. Oleh karena itu kelurusan pikiran (kebenaran formal) niscaya dibarengi kebenaran materi pikiran (kebenaran material), sehingga proses penalaran tidak hanya Logis, tetapi juga Dialektis.
Selanjutnya untuk menilai validitas pemikiran / menentukan aturan-aturan pemikiran yang tepat, logika menganalisis unsur-unsur pemikiran manusia sebagai berikut:
1. Mengerti kenyataan. Kegiatan ini disebut membentuk pengertian (Tashawwur)
2. Menyatakan hubungan yang ada antara pengertian-pengertian yang telah ditangkap, atau disebut Putusan (Tashdiq)
3. Kesimpulan, kegiatan penyimpulan/penalaran/pemikiran adalah suatu penjelasan yang menunjukan kaitan/hubungan antara dua hal atau lebih yang atas dasar alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan.
Untuk menganalisa jalan pikiran maka hal-hal yang tidak eksplisit dikemukakan (hanya secara implisit terkandung) atau implikasi di dalam suatu pemikiran/pernyataan/proposisi sering kali perlu dieksplisitkan, artinya dirumuskan secara terurai dan lengkap. Sebagai alat bantu untuk menganalisa atau menguji pemikiran/pernyataan/proposisi tersebut, maka berguna sekali menyusun jalan pikirannya (langkah-langkahnya dan hubungan-hubungannya) dalam bentuk skema, sehingga kelihatan dengan jelas mana yang merupakan kesimpulan, mana yang alasan, serta bagaimana orang dari alasan-alasan tertentu menarik kesimpulan.
Untuk menganalisa dengan lebih teliti perlu dikemukakan pertanyaan: Apakah kesimpulan tersebut benar? Apakah pasti?, Kalau tidak, mengapa?, Apakah titik pangkalnya tepat?, apakah alasannya cukup kuat? Apakah jalan pikirannya logis?
Beberapa Kesalahan Logis:
Untuk berpikir dengan baik, kita perlu mengenali kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam berpikir untuk kemudian kita hindari: 
1. Generalisasi tergesa-gesa, “Penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini sarat dengan nuansa politis”.
2. Analogi Palsu, Perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkan dengan gagasan lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. “Membuat istri bahagia adalah seperti membuat kucing kesayangan menjadi bahagia. Belai kepalanya sesering mungkin, dan beri makanan yang ia sukai sebanyak muingkin”.
3. Petitio Principii/Penalaran melingkar, Bilamana si penalar meletakkan kesimpulannya ke dalam premis/alasannya, kemudian memakai premis tersebut untuk membuktikan kesimpulannya, jadi kesimpulan dan premisnya sama (begging the question). “Manusia merdeka karena ia bertanggung jawab, dan ia bertanggung jawab karena ia merdeka”. 
4. Deduksi cacat. Manakala si penalar memakai premis yang cacat di dalam menarik kesimpulan deduktif. “Dia berambut gondrong, dia pasti orang jahat”. 
5. Pikiran simplisit. Si penalar terlalu menyederhanakan masalah. Masalah yang komplek (berseluk-beluk) disederhanakan menjadi dua kutub yang berlawanan (pikiran polarisasi), atau dirumuskan menjadi hanya dua segi / dua pilihan / baik-buruk/hitam-putih/benar-salah. “Kamu orang fundamental atau liberal?”
6. Argumen ad Hominem. Si penalar tidak memperhatikan masalahnya/alasan penalaran akan tetapi didasarkan pada kepentingan atau keadaan orang yang mengusulkannya atau dalam mengkritik ia menyerang kelemahan orangnya, “Dia itu orangnya sudah jelek homoseks pula, saya tidak setuju pendapatnya.”
7. Argumen ad Populum. Lebih mengutamakan menggugah perasaan, membangkitkan/membakar emosi pendengar untuk menerima konklusi tertentu, contoh: kampanye-kampanye /propaganda politik, Demonstrasi. “Khilafah adalah solusi satu-satunya. Mari tegakkan khilafah!”
8. Kewibawaan Palsu, Argumen didasarkan pada kewibawaan, kedapat dipercayaan, keahlian. “Menurut profesor di Barat, bakwan berpengaruh jelek terhadap fungsi empedu.”
9. Argumen ad ignorantian, Penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi berdasarkan bahwa negasinya tidak terbukti salah atau sebaliknya. “Makhluk halus itu tidak ada sebab kita tidak pernah melihatnya”.
10. Kesesatan non Causa pro causa, Kesalahan karena menganggap sesuatu sebagai sebab padahal bukan sebab yang sebenarnya atau bukan sebab yang lengkap. “Setelah SBY terpilih jadi presiden, Indonesia banyak dirundung bencana.”
Suriasumanti, Jujun S, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Pranarka, A.M.W., Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987.
Poespoprodjo, Logika
Poespoprodjo, Logika Scientifika
Alex Lanur, Logika
from → Filsafat
2 Responses leave one → 
1. 
2008 Juni 29 
izma permalink 
ass…
hamdallah,,akhirnya…
sangat tertarik dgn yg ente tulis ing..
coz sm2 suka filsafat..
dasar berfikir adalah logika
dasar logika adalah berfikir
dialektika atau probabilitas dalam berfikir itu seperti apa?? apalagi dalam mengambil keputusan yg sulit?? bahkan kita sering menemui kejanggalan yang kita tdk tahu…
mudah-mudahan menjadi reference of my mind =)

13 Mei 2009

MUDUL 1 - Daspro Praktikum




hehe kayaknya kebalik dech sorry>>> maw benahin tapi waktunya mepet bngt,coz bentar lagi maw kuliah ne....

tugas daspro dari B.Roro

soal

1234

123

12

1

buat source codenya!!

___________________________________________________________________

 class tgsdaspro1

{
  public static void main(String args[])
  {
    int a,b;
    for(a=4;a>=1;a--)

   {

     for (b=1;b<=a;b++)      

     System.out.print (b) ;

     System.out.println ( );  

    }

  }

}

dari Marsudi hehehe

Mu'tazilah

A. Definisi dan Sejarah Kemunculan Mu’tazilah

Berbicara tentang perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya,karena terus menerus terjadi perpecahan dan perbedaan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syi’ah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syi'ar akal dan kebebasan berfikir. satu syi'ar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah Swt sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut perasangka mereka. Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran Mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah. Modernisasi pemikiran. Westernasi, Liberalisme dan Sekularisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu, dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini.

Pengertian Mu'tazilah:
a. Secara Etimologi Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan,
b.Secara Terminologi
Para Ulama banyak mendepenisikan kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai “satu kelompok dari qadariyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amru bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry”. Suatu persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah adalah dari kisah Hasan Al-Bashri (21¬¬ – 110 H). yang berbeda pendapat dengan muridnya yang bernama washil bin ‘atha’ (80 – 131) pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I’tizalnya’ dari majlis Hasan Al- bashri dinamakanlah Wasil dan orang-orang yang sepaham dengannya dengan Mu’tazilah. Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa memegang pemerintahan islam selama kurang lebih dua ratus tahun. Sebagaimana berselisih faham Hasan bashri dengan muridnya berselisih pula Abu Hasan Al-asy'ari (260 – 330) dengan gurunya yang bernama Abu Ali Al-juba’I ( 235 – 303) pada masalah sifat Allah swt yaitu wajibnya Allah swt berbuat baik”
dari sumber yang disebutkan diatas dapat kita simpulkan bahwa Mu’tazilah merupakan suatu jama'ah yang lain dari Ahlussunnah wal jamaah yang lebih mengedepankan pikiran dari nash. Dan pelopor munculnya fikiran seperti ini adalah Washil bin Atha’ yang kemudia mendirikan jama’ah yang disebut dengan Mu’tazilah.

B. Pandangan Mu’tazilah terhadap Al-quran dan Hadits

Pandangan Mu’tazilah tentang Alqur’an secara umum memang berbeda dengan Jumhur muslimin, mulai dari cara mereka beradab dengan Alquan dan mengingkari beberapa nash yang begitu nyata dalam Alqur’an. Seperti apa yang di fahami Mu’tazilah nazomiyah bahwa makhluk yang terdiri dari Manusia, binatang, tumbuhan langit dan bumi diciptakan tuhan dengan serentak, padahal sudah ada diceritakan dalam Alqur’an bahwa semua itu bertahap. Kemudia jumhur Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Alquran itu adalah makhluk. Setelah berhasil menyulap khalifah Al-ma’mun mu’tazilah semakin aktif menjalankan aksinya, apalagi setelah sang khalifah mengumumkan faham Mu’tazilah sebagai ideology Negara dan memaksa masyarakat supaya membenarkan apa yang sebetulnya berlawanan dengan keyakinan mereka. Disanalah kita baca seorang ulama universal Ahmad bin Hambal mengalami siksaan dan mendekam dipenjara selama 13 tahun karma tidak mau mengakui bahwa Al-qur’an adalah makhluk. Ini semua menjadi bukti betapa ulama-ulama Ahlussunnah mengalami penekanan, boikot bahkan penyiksaan. Sampai kurun waktu 200 tahun. Sampai akhirnya kholifah Al-mutawakkil (218.H) naik sebagai pemegang estapet kepeminpinan tertinggi dalam islam dan dia mengumumkan kecondonagannya kepada Ahlussunnah wal jama’ah; setelah itu Mu’tazilahpun terkesan lemah, loyo danpa daya laksana ayam kehilangan induk, bahkan setelah itu sampai sekarang mereka tidak lagi bisa bangkit tegak seperti dulu. Banyak lagi disana pengingkaran terhadap Nash Alqur’an seperti pendapat mereka bahwa orang-orang Kafir, Musrik, Yahudi, Nasrani akan jadi tanah nanti di akhirat dan tidak mendapat siksaan, padahal nashnya sudah jelas bahwa mereka akan mengalami siksaan yang kekal dalam neraka, yang paling tragis sekali adalah ketika mereka mengatakan bahwa manusia pasti sanggup membuat ayat yang serupa dengan Alqur’an baik dari segi fasohah, balagoh dan I’jaznya. Padahal sudah jelas-jelas di ugkapkan dalam Alquran bahwa sekalipun manusia dan jin bekerja sama untuk meniru alquran mereka tidak akan sanggup.
Kemudian Mu’tazilah memandang Sunnah/Hadis tak jauh beda dengan pandangan mereka terhadap Alqur’an, bahwa bagaimanapun juga fikiran yang di dahulukan. Seperti halnya masalah periwayat dalam ilmu Hadits mereka tidak menerima hadits yang bersumber dari periwayat yang berseberangan pemikirannya dengan mereka demikian pula mayoriytas ulama Hadist tidak menerima perowi Mu’taziliyin. Namun walaupun demikian Para ulama berbeda pendapat tentang mauqif mu'tazilah dalam pembagian hadits kepada mutawatir dan ahad, sebagaimana Ahlussunnah membagi Hadits kepada dua bahagian itu dan menerima keduanya menjadi hujjah. Suatu riwayat yang bersumber dari Hasan Al-Bashri berkata: Abu Ali Al-jubba’I dan satu jama’a dari ulama Mu’tazilah tidak membolehkan beramal dengan hadits ahad. Iman ibnu Hazmin menjelaskan” mayoritas ulama islam menerima Khobar ahad yang tsiqah/terpercaya dari Nabi SAW, sama ada ia dari Ahlussunnah, Syi’ah, Khowarij, dan Qadariyah, namun setelah abad pertama hijriyah Mu’tazilah menyalahi ijma’ ulama Islam tadi.

C. Pandangan jumhur ulama terhadap faham Mu’tazilah

Pandangan mayoritas ulama kepada Mu’tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok Mu’tazilah itu sendiri namun secara umum memang mayoritas ulama tidak setuju dengan firqah ini. Ada beberapa pernyataan ulama yang bisa kita baca seperti; Suatu riwayat Muhammad bin Hasan mengatakan "siapa yang sholat di belakang Mu’tazilah maka hendaklah ia mengulangi sholatnya” dan ketika Abu Yusuf ditanya tentang pandangannya kepada mu’tazilah beliau menjawab "mereka adalah Zanadiqoh/kafir zindiq" dan di lain pernyataan kita baca ada ungkapan yang lebih keras dari ini seperti; ‘Ahlussunnah berkomentar tentang “Al-futiy “ dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT
Dari uraian dan kutipan diatas dapat kita pahami bahwa pemikiran Mu’tazilah ini tidak berterima di manyoritas ulama.

D. Kelompok-kelompok dan Ulama-ulama Mu’tazilah

Ada banyak tokoh dan ulama mu’tazilah yang bertebaran di Daulah Arabiyah khususnya, Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok besar saat menjalani misinya dengan sponsor Daulah Abbasiyah, yaitu:
1. Cabang Bashrah, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atha', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al-Balkhy Al- Ka'by dan yang lain-lainnya.
Ada banyak kelompok-kelompok kecil dalam tubuh Mu’tazilah yag semua berdasar dari perbedaan pemikiran dalam setiap tokohnya. Yaitu:
1. Al -washiliyah.
Mereka adalah pengikut abu hudzaifah washil bin ‘atho’ al- ghazzalah. Dia adalah murid imam Hasan al-bashri dan keduanya hidup dizaman khalifah Abdullah bin marwan dan Hisyam bin Abdul Malik.
2. Al-Hudzailiyah
Mereka adalah kelompok yang di gagas oleh Abu Hadzil Hamdan bin Hadzil Al-‘Allaf, dia termasuk syekhnya mu’tazilah dan orang terkemuka di antara mereka, dia mendapat faham mu’tazilah dari Utsman bin Kholid At-towil dari Washil bin ‘Atha’. Persi lain mengatakan bahwa Abu hadzil belajar Mu'tadzilah itu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Hanafiyah, dan persi lain mengatkan dia mengambil faham itu dari Hasan bin Abi hasan Al basyri.
3. An-Nazzomiyah
Mereka adalah aliran yang dipelopori oleh Ibrohim bin Sayyar bin Hani’ An-nazzom. Ia telah banyak membaca kitab-kitab Filosof sehingga kemudia bercampur dengan faham Mu’tazilahnya. Ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah, antara lain ia mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan makhluk ini serentak yaitu manusia, tumbuhan, hewan diciptakan serentak sebagaiman yang kita lihat sekarang. Pendapat ini di adopsi dari Filosof dan bertentanga dengan apa yang di sepakati ulama salaf dan khalaf.
4. Al-Khobitiyyah dan Al-Hadatsiyyah
Al-Khobitiyah adalah pengikut Ahmad bin Khobit, demikian juga Al-Hadatsiyah adalah pengikut Fadhl Al-Hadtsi. Sebetulnya kedua orang ini adalah Mu’tazilah Nazomiyah namun setelah membaca dan mempelajari banyak buku-buku Filsafat mereka juga punya pikiran yang melenceng dari Mu’tazilah itu sendiri seperti; mereka menyakini bahwa dalam diri Nabi ‘Isa as itu ada unsur ketuhanan seperti apa yang di percayai Nasrani bahwa nanti di akhirat ‘Isa akan ikut menghitung amal manusia.
5. Al-Bisyriyah
Mereka adalah pengikut Bisyri bin Mu’tamir, dia termasuk pembesar Mu’tazilah.
6. Al-Mu’ammariyah
Ini adalah pengikut Mu’ammar bin ‘Abbad As-Salmi, dia termasuk pembesar Qodariyah dan ia banyak menyimpang dari Ahlusunnah bahkan Mu’tazilah sendiri seperti pendapatnya yang menapikan Qadar baik dan buruk dari Allah SWT dan mengingkari bahwa Allah SWT itu Qadim, bahkan menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berseberangan dengannya.
7. Al-Mardariyah
Tokoh utamanya adalah ‘Isa bin Sobih Al-Makni yang diberi gelar dengan “Mardar”, ia penah jadi murid Bisyri bin Mu’tamir dan ia di gelar juga dengan Rohibul Mu’tazilah=guru besarnya Mu'tazilah. ia berbeda dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah seperti; dia berpendapat pada sipat Qudratnya Allah SWT itu termasuk bahwa Allah SWT sanggup berbohong dan berbuat zalim, dan kalau Allah SWT misalnya berdusta atau berlaku zalim maka jadialah Ia Tuhan yang zalim dan Tuhan pendusta. Kemudian sang Mardar inilah yang paling menonjol menggembar-gemborkan bahwa Al-qur’an itu adalah makhluk dan manusia mampu membuat bacaan yang sama dengan Al-quran baik dari segi balagah, fasohah dan I’jaznya.
8. Ats-Tsumamiyah
Ini adalah kelompok Tsumamah bin Asyros An-Namiry, ia termasuk Mu’tazilah yang ekstrim dan banyak berbeda dengan Mu’tazilah lain, seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa orang fasiq itu kekal di neraka dan mengatakan bahwa orang kafir dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Dahri, Musyrik dan Zanadiqoh nanti di akhirat akan jadi tanah, sama dengan binatang dan anak-anak orang beriman. Suatu riwayat menyebutkan ketika Tsumamah melihat kaum muslimin berlari kemesjid untuk sholat jum’at karna takut terlambat maka dia berkata” lihatlah para kerbau itu, lihatlah himar-himar itu”.
9. Al-Hisyamiyah
Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amru Al-futi, ia adalah orang yang sangat ekstrim pada masalah Qudratnya Allah SWT. Ia mengingkari banyak perbuatan Allah yang sudah nyata sekalipun dalam Al-quran seperti; ia mengingkari bahwa Allah SWT yang menyatukan hati orang-orang beriman bahkan mengatakan bahwa yang menyatukan hati orang-orang beriman itu adalah mereka sendiri dengan ikhtiyar mereka. pedahal sudah jelas di ungkapkan dalam Al-Quran:
ما ألفت بين قلوبهم ولكن الله الف بينهم (الأنفال 63)
Ahlussunnah berkomentar tentang “al-futi “ dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT.
10. A-Jahiziyyah
Tokohnya adalah Amru bin Bahr abu Utsman Al-Jahiz, ia merupakan orang yang dimuliakan di Mu’tazilah dan termasuk penyusun kitab-kitab mereka. salah satu pendapatnya yang menyimpang dari Mu’tazilah lain adalah ia berpendapat bahwa orang yang masuk neraka itu tidak selamanya akan mendapat siksa tapi mereka akan menjelma jadi unsur dari api itu sendiri.
11. Al-Khoyyatiyah dan Ka’biyah
Mereka adalah kelompok Abu Husein bin Abu Amru al-Khoyyat dan Ustadz Abu Qasim bin Muhammad Al-Ka’bi. Mereka berdua ini adalah Mu’tazilah dari Bagdad, mereka bisa dibilang satu aliran.
12. Al-Juba'iyyah dan dan Bahsyamiyah
Mereka adalah pengikut Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim Abdussalam. Mereka berdua ini adalah orang Mu’tazilah dari Bashrah dan beberapa masalah berbeda dengan Mu'tazilah lainnya seperti; keduanya mengingkari bahwa Allah SWT akan dilihat di akhirat, mengatakan bahwa kalam Allah SWT adalah berhuruf, tersusun dan bersuara.

Penutup

Setelah kita membaca dan menelaah tulisan sederhana di atas secara otomatis dapatlah kita menyimpulakan bahwa sebenarnya faham Mu’tazilah itu adalah salah satu Firqah dalam islam yang mengedepankan pemikiran dan mengenyampingkan Al-Quran, Hadits, Ijma’ apabila berbenturan dengan akal pikiran, secara pemikiran mereka banyak terpengaruh dengan metode berpikir para filosofis yunani yang jauh dari disiplin ketuhanan. mereka berseberangan dengan Ahlissunnah wal jama’ah dalam banyak masalah sehingga bayak ulama yang mengecam mereka. Mu’tazilah berdiri sekitar abad pertama Hijriyah dengan di pelopori Washil bin ‘Atho’ dan jama’ahnya. Mereka pernah jaya dimasa dinasti Abbasiyah di pinpin oleh Khalifah Al-ma’mun, dan Faham mu’tazilah ini sempat menjadi idiologi Khilafah Islamiyah walau sebenarnya tidak menerima di hati masyarakat muslimin. Tetapi setelah masa keemasan itu mereka tidak pernah lagi bangkit seperti dulu sampai sekarang. Tetapi walaupun demikian kita jangan lupa bahwa, fikrah dan metode berpikir mereka dalam menyerap ajaran Islam masih hidup di era globalisasi ini, namun barangkali berbeda nama dan rupa tapi sama ma’na dan tujuan.
Pada tahun 100H/718M telah muncul aliran baru dalam teologi islam yang disebut aliran Mu'tazilah yang dibidani oleh Washil bin Atho' murid Hasan al-Bashri. 
Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya  adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil aqliyah dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam.
Selain nama Mu'tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahlut-Tauhid, kelompok Ahlul 'adil, dan lain-lain. 
Sementara pihak modern yang berseberangan dengan mereka menyebut golongan ini dengan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat. 
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji'ah berkenaan soal orang mukmin yang berdosa besar. 
Menurut aliran Khawarij, mereka tidak dapat dikatakan sebagai mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. 
Sementara itu kaum Murji'ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi dua pendapat yang kontroversial ini, Washil bin Atho' yang ketika itu menjadi murid Hasan al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya. 
Oleh karena diakhirat nanti tidak ada tempat diantara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Washil bin Atho', yang kemudian menjadi salah satu doktrin Mu'tazilah, yakni Al-manzilah baina al-manzilataini (posisi diatara dua posisi).
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya dikalangan mesyarakat awam kerena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu'tazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Mu'tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW. dan para shahabatnya.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan intelektual, pada masa pemerintahan khlalifah al-Ma'mun, penguasa Abbasiah periode 198-218 H./813-833 M. kedudukan Mu'tazilah menjadi semakin kokoh setelah al- Ma'mun menyatakannya sebagai madzhab resmi negara. Hal ini desebabkan karena al-Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu'tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memakasakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalqu al-Qur'an. 
Mu'tazilah berpendapat bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur'an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim.  
Jika al Qur an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.
Khalifah Al-Ma'mun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian (Fit and and Proper Test) terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini. 
Menurut al-Ma'mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Qur 'an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting didalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadli. 
Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. 
Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemeritahan yang disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu'tazilah, seperti al-Khuzza'i dan al Buwaythi. 
Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil berkuasa pada masa 232-247 H./846-861 M. menggantikan al-Wasiq, Khalifah pada masa 228-232 H./843-846 M.
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu'tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakil membatalkan mazhab Mu'tazilah sebagi mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy'ariyah.
Selama berabad-abad kemudian Mu'tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlussunnah wal Jama'ah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini adalah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam.
 Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka asy'ariyah. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu'tazilah ditemukan kembali dan dipelajari diberbagai perguruan Islam, seperti di Al-Azhar.
Neo mu'tazilah
Seiring dengan semakin gencarnya para pemikir Barat (orientalisme) mempelajari Islam dan kemudian menyuguhkannya pada para pemikir-pemikir Islam modern seperti Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammad Arkoun, faham Mu'tazilah kini muncul dengan wajah barunya, bahkan kini sudah merambah ke tokoh-tokoh Muslim Indonesia. 
Mereka, kemudian melempar isu-isu yang nakal yang dapat merusak keimanan setiap muslim, betapa tidak, beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan sudah mempertanyakan ke-otentikan al-Qur'an dan menganggap semua agama benar (pluralisme agama). 
Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu salah satu tokoh Islam Liberal Ulil Abshar secara tegas menyatakan bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu'tazilah, bahkan kalau  melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran Mu'tazilah, banyak pemikir liberal mencoba merelatifkan nilai-nilai ajaran Islam dengan menyamakannya seperti budaya lain. 
Hal ini dilakukan dangan merelatifkan nilai kenabian Muhammad SAW., dengan memandang beliau sama saja dengan reformis-reformis lainnya, Muhammad SAW itu adalah manusia biasa tak lebih dan tak kurang, kata Hamid Basya'ib, aktifis Islam Liberal. 
Demikian juga dengan al-Qur'an, mereka mengatakan al-Qur'an adalah produk budaya, karena ia terbentuk dalam sebuah realitas budaya dan mnggunakan bahasa budaya ketika itu . Al-Qur'an itu, kata Arkoun, persis seperti Bible, ia merupakan kumpulan kata-kata Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa manusia (bandingkan dengan ide al-Qur'an adalah makhluq yang diusung oleh Mu'tazilah).
Teologi inklusif
Dalam buku 'Teologi inklusif Cak Nur'  ditulis, "Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran  al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view Al qur'an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri kehadirat tuhan. (QS 29:46). 
Selanjutnya dikatakan : "Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur". 
Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi "muslim" itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut kitab suci baik Yahudi maupun Kristen. 
Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita, baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian  serta berbuat kebaikan, maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69).
"Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama, apapun "agama"-nya, untuk menerima pahala (surga) dari tuhan. "Bayangkan betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini", kutip Sukidi, anak Muhammadiyah yang juga  penganut Islam Liberal.  
Seorang aktivis Muhammadiyah menulis untuk sebuah media massa Indonesia: 
"Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama, baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun  lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua agama. 
Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. 
Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum tuhan", katanya. (Jawa Pos 11 Januari 2004) . 
Teologi inklusif didasari oleh sikap relatifisme ('Indiyyah) yang menganut faham tidak ada kebenaran mutlak. Sumber pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufasta'iyyah (kaum sophist). 
Dalam aqidah annasafi dinyatakan  "haqaaiq al-ashya'' tsabitatun wal' ilm bihaa mutahaqqiqun, khilafan li  al-shufastaiyyah" (Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum sufasta'iyyah) .
Gagasan 'kaum peragu' (sophist), sebagaimana ditulis dalam buku Al-'Aqaid an-Nasafiyyah itu jelas sudah ditolak oleh Islam (khilafan li  al-shufastaiyyah). Sangat jelas, akidah kita (Islam), sangat bertentangan dengan para kaum sophist ini.
Jika seorang Muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain adalah salah, maka kita bertanya, untuk apa ada konsep teologi Islam? 
Jika seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya --karena semua kebenaran dianggapnya relatif-- maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi dakwah? 
Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi kemungkaran, sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah.
 Pada akhirnya, golongan "ragu-ragu" akan "berdakwah" mengajak orang untuk bersikap "ragu-ragu" juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis "keyakinan" baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar.  Itulah kaum sophist.
Upaya dekonstruksi dan reduksi makna Islam terus berjalan, dan ironisnya jika itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh cendikiawan muslim, ormas Islam yang bukan hanya dianggap mempunyai otoritas dalam keilmuan Islam, tetapi juga dihormati di lembaga-lembaga keagamaan, dan yang lebih ironis lagi, tidak banyak kalangan ulama dan cendikiawan bahkan kalangan pesantren yang menganggap hal ini sebagai masalah serius bagi perkembangan masa depan umat atau dakwah Islam.